Senin, 11 April 2016

Sikap Mental Masyarakat Aceh


Asalamu'alaikum Warahmatullah...

Salah satu suku bangsa yang memiliki kearifan budaya yang kuat adalah Aceh, masyakat Aceh memiliki kesadaran sejarah dan budaya yang tinggi, mareka selalu mengingat dan membanggakan masa yang gemilang, makmur, sejahtera, dan maju, meskipun di selingi dengan pengalaman pahit. Semua telah menjadikan tonggak sejarah yang bermakna besar bagi mareka. ini bisa kita lihat banyak masyarakat Aceh yang sangat bangga akan masa keemasan Sultan Isakandar Muda Meukuta Alam. Dimana pada masa kesultanan Aceh di bawah kepemimpinan beliau, baik dala bidang politik, sosial, budaya dan agama ( syari'at islam ) berjalanan dengan harapan masyarakat Aceh. maka tidak salah jika banyak masyarakat Aceh yang berangan-angan untuk kembali kemasa keemasan Kesultanan Aceh tersebut.
Keterkaitan masyarakat Aceh dengan agama islam terlihat dari tradisi meugang, meugang adalah suatu tradisi yang mana biasa dilakukan sehari atau dua hari menjelang puasa Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri dan Idul Adha, banyak masyarakat Aceh yang dirantau juga melakukan tradisi meugang meskipun berada negeri orang. Keterkaitakan masyarakat Aceh denga agama juga terlihat dalam etos kerja, kesadaran bekerja ini dilandasi keimanan bahwa Allah Subhanallahu wata'ala akan memberikan rezeki kepada setiap makhluk yang bernyawa, jadi manusia berkewajiban berikhtiar dan bertawakkal (berusaha dan berdoa). Kerja keras adalah point pertama yang dimiliki masyarakat Aceh dan semangat adalah contoh nyata dan prinsip masyakat Aceh dalam bekerja dan berusaha.

Masyarakat Aceh dikenal sebagai masyarkat yang religius, akan tetapi ada unsur atau kebiasaan yang masih melekat terhadap ajaran yang ditinggalkan pada zaman pra islam. Sikap militanisme masyarakat Aceh sangat kental hal ini bisa terlihat dari sikap memperjuangkan makna hidup dan juga dalam mempertahankan harga diri atau eksistensinya. Masyarakat Aceh juga mempunyai sikap reaktif, yang artinya sebuah sikap awas atas harga diri yang keberadaannya dipertaruhkan dalam sosial budaya. Orang Aceh sangat peka terhadap situsasi sosial di sekitarnya, tidak suka di usik, sebab jika tersinggung dan menanggung malu reaksi yang timbul adalah akan dibenci dan menimbulkan dendam. Bila tersinggung perasaannya, Bu Leubeeh hana di peutaba (nasi lebih pun tidak akan ditawarkan). Namun  sebaliknya, apapun akan diberikan jika tidak menyinggung perasaan mareka,bahkan kawan bisa dianggap seperti saudaranya sendiri. Berkaitan dengan harga diri dan kebenaran masyarakat Aceh akan konsisten, hal ini tampak dalam sikap dan pendirian yang tidak plin-plan, tegas dan taat asas. Optimisme pun terdapat dalam sikap orang Aceh, yang beranggapan bahwa setiap pekerjaan yang kelihatan sulit dan berat harus dicoba dan dilalui. Cap dibatu paku di papan, tidak boleh tertukarkan. Orang Aceh juga terkenal dengan keloyalannya, hal ini sangat berkaitan dengan kepercayaan. Jika seseorang atau pemimpin, menhargai, mempercayai, tidak menipu, tidak mencurigai orang Aceh maka mareka akan membaktikan diri kepada pemimpin, adak lam prang pih lon srang-brang. Bah matee diblang ngon sabab gata ( biarpun dalam perang saya akan tetap maju menyerang, walaupun mati di dalam sawah demi untuk kamu (pemimpin) ).

Dalam tiga hal, yaitu rezeki, jodoh, dan musim tanam, karena hal itu menyangkut keberhasilan dan kegagalan mareka dalam mencari rezeki, kecocokan menndapat jodoh yang sesuai dengan hati, dan keberhasilan atau kegagalan panen. Sampai sekarang masyarakat Aceh apabila pada suatu peristiwa tidak menjalankan adat atau upacara yang telah ditentukan maka yang bersangkutan akan merasa sedih dan dirinya merasa terhina karena tidak dihormati secara adat yang berkembang dalam masyarakat Aceh. Salah satu contohnya adalah upacara sebelum dan sesudah kelahiran bayi, banyak sekali rangkaian upacara yang akan dilaksanakan semua itu erat kaitannya dengan adat-istiadat Aceh.

Orang Aceh menarik garis keturunan berdasarkan prinsip bilateral menyebabkan tidak ada perbedaan istilah kekerabatan antara pihak laki-laki dan perempuan. Kelompok kekerabatan terkecil adalah Ayah, Ibu dan anak-anak yang belum menikah. Namun bagi anak laki-laki sejak berumur 6 tahun hubungannya dengan orang tua mulai dibatasi. Proses sosialisasi dan enkulturasi lebih banyak berlangsung diluar lingkungan keluarga. Proses ini menyebabkan hubungan yang tidak terlalu intim, namun bukan berarti tidak saling menyayangi. Hal ini yang mendorong anak laki-laki pergi merantau.

Hanya ini yang bisa penulis sampaikan tentang karakter orang Aceh, mungkin banyak kekeliruan dalam hal pengutipan dan dalam penulisan artikel, mohon sedianya diulang kaji supaya bisa menghasilkan artikel yang lebih bagus untuk kedepannya.

  
sumber : http://munirarber.blogspot.co.id


Wasalamu'alaikum warahmatullah...



Load disqus comments

0 komentar